Dunia seolah terdiam saat perang besar pecah di Sudan, namun konflik serupa di sebuah negara tetangganya, Mali, jarang sekali menjadi tajuk utama. Sebuah pertempuran berlarut-larut sedang berlangsung di gurun Sahara yang luas, melibatkan militer pemerintah melawan sebuah koalisi yang ingin memerdekakan diri.
Konflik ini sering luput dari perhatian dunia, meski memiliki semua unsur yang layak menjadi berita besar. Pertarungan ini bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan babak baru dari sengketa yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Para analis dan pengamat pun mulai mencari perbandingan untuk memahami kompleksitasnya. Mereka menarik garis paralel yang mengejutkan dengan perang saudara di Sudan.
Jika Tentara Sudan (SAF) adalah militer resmi, maka Angkatan Bersenjata Mali (FAMa) menduduki posisi yang sama dalam konteks ini.
Sebagai lawan, Pasukan Pendukung Cepat (RSF) di Sudan yang merupakan kekuatan paramiliter, memiliki "kembaran" yang paling mirip di Mali, yaitu Coordination of Azawad Movements atau CMA.
Seperti RSF yang merupakan saingan kuat dari militer Sudan, CMA adalah musuh bebuyutan FAMa di gurun utara Mali.
Di jantung gerakan ini berdiri seorang tokoh kunci, Alghabass Ag Intalla.
Ia adalah seorang pemimpin Tuareg yang berpengaruh, yang perjalanan politiknya mencerminkan kekacauan di wilayah tersebut.
Ag Intalla pernah duduk di kursi parlemen Mali, sebelum ia memilih untuk bergabung dengan gerakan separatis yang menuntut otonomi atau bahkan kemerdekaan penuh bagi wilayah utara yang dikenal sebagai Azawad.
Titik balik terbesar dalam konflik ini terjadi pada akhir tahun 2023, ketika sebuah kota strategis jatuh ke tangan pemerintah.
Militer Mali melancarkan serangan besar dan berhasil merebut kembali kota Kidal, sebuah benteng pertahanan yang selama bertahun-tahun berada di bawah kendali CMA.
Keberhasilan ini tidak dicapai sendirian, karena di belakang mereka berdiri kelompok tentara bayaran Rusia yang terkenal, Grup Wagner.
Kehadiran Wagner di Mali menegaskan bahwa konflik ini bukan sekadar urusan internal.
Pasukan Rusia itu dituduh telah memberikan dukungan signifikan yang membuat militer Mali mampu mencapai kemenangan yang telah lama diidam-idamkan.
Yang lebih mengejutkan lagi, lawan dari pemerintah Mali pun diduga tidak sendirian.
Ada laporan yang menuduh bahwa Ukraina, musuh utama Rusia, telah memberikan dukungan intelijen dan teknis kepada kelompok separatis Tuareg.
Tuduhan ini memicu ketegangan diplomatik, yang berujung pada keputusan Mali untuk secara resmi memutus hubungan dengan Ukraina.
Di tengah semua ini, muncul pertanyaan: mengapa konflik Mali tidak menarik perhatian media global sebesar konflik di Sudan?
Jawabannya terletak pada skala dan lokasi. Pertempuran di Sudan terjadi di ibukota dan pusat populasi, menyebabkan krisis kemanusiaan yang cepat dan menarik perhatian dunia.
Sementara itu, konflik di Mali terjadi di wilayah gurun yang terpencil, yang membuat peliputan bagi jurnalis menjadi sangat sulit dan berbahaya. Akibatnya, berita ini nyaris tidak terangkat.
Deklarasi Kemerdekaan:
Pada 6 April 2012, Gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad (MNLA), kelompok separatis utama, secara sepihak memproklamirkan kemerdekaan Azawad setelah berhasil menguasai sebagian besar wilayah utara Mali.
Tidak Ada Pengakuan Internasional:
Berbeda dengan Sudan Selatan yang kangsung diakui dunia, deklarasi kemerdekaan ini segera ditolak dan tidak diakui oleh komunitas internasional, termasuk Uni Afrika (AU), Uni Eropa (EU), dan negara-negara tetangga Mali seperti Aljazair. Uni Afrika menyebutnya "tidak sah dan tidak memiliki nilai apa pun."
Hubungan yang Tidak Stabil: Sejak 2012, hubungan antara pemerintah Mali dan kelompok separatis di utara, yang sebagian besar tergabung dalam Coordination of Azawad Movements (CMA), tetap tegang dan diwarnai pertempuran. Pada Januari 2024, pemerintah militer Mali bahkan secara resmi mengakhiri perjanjian perdamaian tahun 2015 yang dirancang untuk mengakhiri konflik. Hal ini menandakan bahwa konflik dan ketidakstabilan masih terus berlanjut.
Kontrol Wilayah yang Tidak Konsisten:
Meskipun kelompok separatis pernah menguasai wilayah yang luas, mereka tidak dapat mempertahankan kontrol secara konsisten dan seringkali terlibat dalam pertempuran dengan pemerintah Mali dan kelompok-kelompok ekstremis lainnya.
No comments:
Post a Comment