Warisan budaya dan sejarah Asia Barat ternyata mengakar kuat dalam jalinan kekuasaan dan spiritualitas kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara. Di Kerajaan Huristak, yang kini banyak dihuni oleh masyarakat bermarga Hasibuan, jejak peradaban Turki dan Persia tergambar nyata dari gelar-gelar kehormatan yang disandang oleh bangsawan dan ulama pada masanya.
Nama-nama seperti Bahal Uddin, Anwar Bey, dan Hairil Hamzah dikenal dalam sejarah kerajaan Huristak sebagai tokoh penting yang membawa pengaruh dari dunia Islam, khususnya Turki Utsmani. Mereka tidak hanya dihormati karena keturunannya, tetapi juga karena perannya dalam pengembangan intelektual dan keagamaan.
Menariknya, beberapa dari tokoh tersebut menyandang gelar "Efendi" dan "Bey", gelar khas dari peradaban Ottoman. Ini menandakan hubungan kultural yang erat antara elite lokal di Huristak dengan model kepemimpinan dan struktur sosial dari Turki Utsmani.
Namun pengaruh Asia Barat di Huristak tidak berhenti di situ. Beberapa nama bangsawan dan ulama kerajaan juga menggunakan gelar “Shah” atau “Syah”, gelar yang dikenal luas di dunia Persia, khususnya dari Dinasti Sassanid yang mendahului Islam di Iran.
Nama-nama seperti Shahbudi, Shahbella, dan Alamsyah menjadi bukti betapa gelar-gelar Indo-Persia telah melekat dalam budaya lokal, memperkaya identitas kerajaan dengan nuansa internasional. Ini mencerminkan semangat kosmopolitan yang telah lama tumbuh di jantung Sumatera.
Saat ini, Raja Huristak berasal dari garis keturunan Hasibuan, sebuah marga besar yang mewadahi marga-marga lainnya seperti Hutagalung dan Lumban Tobing. Keluarga besar ini dikenal karena kiprahnya dalam pendidikan Islam dan penyebaran dakwah di wilayah Tapanuli.
Salah satu tokoh penting dari marga ini adalah pendiri UIN Padangsidimpuan, yang mengabadikan nama Hasibuan sebagai simbol perjuangan keilmuan. Dari sisi Lumban Tobing, ada nama Dangol Lumban Tobing yang dikenal sebagai pendiri pesantren dan STAI Bahriyatul Ulum di Tapanuli Tengah.
Di luar Sumatera Utara, sejarah Islam juga mencatat pengaruh besar tokoh-tokoh keturunan Turki dalam perjuangan melawan kolonialisme. Syekh Jalaluddin Faqih, yang lebih dikenal sebagai Teungku Japakeh, adalah salah satu ulama besar yang datang dari kawasan Turki, tepatnya dari daerah Faqih.
Teungku Japakeh menjadi penasihat militer Sultan Iskandar Muda dan turut serta dalam ekspedisi militer ke Melaka tahun 1620. Dari ekspedisi itu lahirlah Masjid Madinah di Meureudu, Pidie Jaya, yang dibangun Teungku Japakeh sepulangnya dari medan perang.
Masjid tersebut kini menjadi salah satu situs sejarah Islam tertua di Aceh. Meski sempat rusak akibat gempa pada 2016, masjid tua peninggalan Teungku Japakeh tetap digunakan untuk kegiatan keagamaan hingga proses renovasi selesai.
Beberapa peninggalan sejarah di masjid itu antara lain sebuah mimbar kayu yang konon dibawa langsung dari Madinah, Arab Saudi. Selain itu, ada juga Guci Siam yang digunakan untuk membasuh kaki jemaah, serta dua batu sumpah yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat.
Teungku Japakeh tidak hanya membangun masjid, tetapi juga mendirikan pusat pendidikan militer Kerajaan Aceh di kawasan Raweu. Di tempat ini, para tentara dilatih oleh mualim yang dikirim langsung dari Turki atas restu khalifah Usmaniyah.
Sementara di Jawa, kisah heroik Pati Unus dan Ratu Kalinyamat dalam dua ekspedisi jihad melawan Portugis di Malaka pada awal abad ke-16 menunjukkan adanya solidaritas Islam lintas kerajaan. Pati Unus, setelah menikah dengan putri Sultan Demak, diangkat menjadi panglima gabungan armada Islam.
Pati Unus memimpin ekspedisi pertama ke Malaka pada 1 Januari 1513. Meski gagal merebut kota tersebut dari Portugis, semangat jihad dan solidaritas lintas kerajaan dari Demak, Banten, dan Cirebon menjadi bukti kuatnya jaringan kekuasaan Islam Nusantara.
Syeikh Syamsuddin Al-Sumaterani, ulama besar Aceh, bahkan tewas di Melaka saat berjuang dalam barisan jihad melawan penjajah Portugis. Kejadian ini semakin menguatkan hubungan emosional dan spiritual antara ulama, sultan, dan masyarakat dalam mempertahankan agama dan tanah air.
Perpaduan pengaruh Turki, Persia, dan kekuatan lokal dalam membentuk kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara adalah bukti betapa luasnya jejaring peradaban Islam. Kerajaan Huristak dan Aceh menjadi contoh nyata bagaimana sejarah global berjejak dalam identitas lokal.
Dibuat oleh AI, baca info lainnya
No comments:
Post a Comment