Keputusan pembubaran parlemen Palestina oleh Presiden Mahmoud Abbas pada 2018 menjadi titik balik kelam dalam sejarah politik internal Palestina. Saat itu, Mahkamah Konstitusi yang loyal kepada Abbas memutuskan agar Dewan Legislatif Palestina (PLC) dibubarkan dan pemilu baru digelar dalam waktu enam bulan. Namun keputusan tersebut justru memperdalam jurang perpecahan antara faksi Fatah dan Hamas yang telah berlangsung sejak 2007.
Sejak kemenangan mengejutkan Hamas dalam pemilu legislatif 2006, ketegangan dengan Fatah kian memburuk. Hanya setahun berselang, bentrokan bersenjata pecah di Jalur Gaza dan membuat Hamas mengambil alih wilayah itu secara penuh, sementara Fatah tetap berkuasa di Tepi Barat. Sejak itu, parlemen lumpuh secara de facto karena anggota-anggotanya terbelah dan tak pernah lagi bersidang utuh.
Pembubaran parlemen ini dianggap sebagai tragedi politik karena menghapus satu-satunya lembaga perwakilan rakyat Palestina yang dipilih secara demokratis. Tanpa parlemen aktif, proses pengambilan keputusan terkonsentrasi di tangan eksekutif dan memudahkan Israel memainkan strategi divide et impera terhadap faksi-faksi Palestina yang saling bermusuhan.
Secara formal, memang PLC dibubarkan, namun dalam praktiknya, institusi ini tetap eksis secara de facto. Beberapa anggota parlemen masih aktif menyuarakan pendapat dan menggelar forum-forum diskusi terbatas di Gaza maupun diaspora. Meskipun tak lagi memiliki kekuatan hukum, keberadaan parlemen ini tetap menjadi simbol perlawanan politik bagi sebagian rakyat Palestina.
Sejumlah pengamat menyayangkan bahwa sejak 2007, berbagai upaya rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas, baik di Kairo maupun ibu kota Arab lainnya, tak pernah membuahkan hasil. Padahal, parlemen seharusnya menjadi ruang bagi semua faksi untuk beradu gagasan secara sah, bukan arena perebutan kekuasaan.
Keputusan Abbas kala itu dikritik keras oleh Hamas yang menyebutnya sebagai tindakan ilegal dan berbahaya bagi stabilitas politik Palestina. Hamas memperingatkan, langkah itu akan menimbulkan kekacauan dan memperdalam stagnasi politik yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.
Faktanya, sejak pembubaran parlemen tersebut, tidak pernah ada pemilu legislatif baru yang diselenggarakan di Palestina. Kondisi ini menjadikan pemerintahan Palestina berada dalam situasi politik setengah jalan yang tidak sehat bagi perkembangan demokrasi maupun stabilitas keamanan nasional.
Israel menjadi pihak yang paling diuntungkan dari kekacauan internal Palestina ini. Dengan tidak adanya parlemen aktif, pemerintah Israel bisa lebih leluasa melakukan tindakan sepihak di wilayah pendudukan tanpa khawatir mendapat tekanan dari otoritas politik Palestina yang solid.
Ketiadaan parlemen juga membuat proses legislasi dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat, berjalan tanpa kontrol rakyat. Ini memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik otoritarianisme di kedua wilayah.
Padahal, menurut beberapa ahli hukum Palestina, Dewan Legislatif dapat tetap beroperasi meskipun dalam situasi darurat. Pertemuan daring atau virtual seharusnya bisa menjadi alternatif jika pertemuan fisik terhambat oleh masalah keamanan atau blokade militer.
Sejumlah tokoh masyarakat sipil bahkan pernah mengusulkan agar parlemen bayangan atau majelis rakyat dibentuk sementara untuk menjaga representasi politik rakyat Palestina. Namun, ide tersebut tak pernah mendapat restu politik dari Fatah maupun Hamas.
Keputusan Abbas kala itu dilatarbelakangi oleh keinginan menekan Hamas agar mau menerima kesepakatan rekonsiliasi nasional. Abbas beranggapan dengan membubarkan parlemen, ia dapat menegosiasikan posisi lebih kuat. Sayangnya, upaya itu malah menjadi bumerang.
Hamas justru menolak keras dan menawarkan pertemuan nasional terbuka untuk mencari jalan keluar bersama. Namun Abbas mengabaikan undangan itu dan lebih memilih jalur unilateral yang memperkeruh situasi politik Palestina.
Sejak saat itu, ketegangan politik kian memuncak, dan segala upaya untuk membangun rekonsiliasi semakin sulit karena tak ada forum sah yang bisa menyatukan berbagai faksi di bawah payung parlemen nasional.
Hari ini, kondisi itu masih berlangsung. Parlemen tetap tidak aktif secara resmi, namun nama dan simbolnya terus dihidupkan di Gaza dan kamp-kamp pengungsi. Sementara di Tepi Barat, otoritas Abbas terus memperkuat kekuasaan eksekutif tanpa ada kekuatan penyeimbang.
Banyak analis politik Palestina berpendapat, stagnasi ini menjadi sebab utama kenapa perjuangan Palestina sulit bergerak maju di level diplomasi maupun perjuangan bersenjata. Ketidakhadiran parlemen mempersempit ruang negosiasi politik yang sah.
Rakyat Palestina pun kian terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan penting terkait masa depan mereka. Demokrasi di Palestina mati suri, dan kekacauan ini membuat Israel kian mudah mengendalikan situasi.
Tanpa parlemen aktif, perjuangan diplomasi Palestina di forum internasional pun terhambat. Tidak ada suara kolektif yang bisa mewakili aspirasi rakyat secara utuh di hadapan dunia.
Kini, saat ketegangan regional meningkat akibat eskalasi Israel dan Iran, ketiadaan parlemen justru menjadi kelemahan strategis Palestina. Tidak ada institusi yang bisa merespons cepat krisis diplomatik dan merumuskan posisi politik nasional secara sah.
Para pengamat berharap agar faksi-faksi Palestina segera menyadari pentingnya menghidupkan kembali Dewan Legislatif, minimal melalui pertemuan virtual, demi memulihkan otoritas politik kolektif bangsa Palestina yang kian tercerai-berai.
No comments:
Post a Comment