• Breaking News

    Friday, June 20, 2025

    Ketika Iran dan Israel Masih Bersahabat



    Sulit dipercaya bahwa Iran dan Israel pernah berdiri di barisan yang sama dalam lanskap geopolitik Timur Tengah. Kini, kedua negara itu saling menghujani rudal dan retorika permusuhan, namun sejarah mencatat bahwa keduanya pernah menjadi sekutu strategis dalam menghadapi musuh bersama: nasionalisme Arab dan komunisme Soviet. Kemesraan yang pernah tumbuh di balik bayang-bayang Perang Dingin dan rivalitas regional itu kini hanya menjadi babak yang jarang dibicarakan dalam konflik berkepanjangan di kawasan.

    Pada masa pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi, Iran menjadi salah satu sekutu utama Israel di kawasan yang mayoritas dihuni negara-negara Arab. Hubungan keduanya dibangun atas dasar kepentingan bersama: menahan laju pengaruh Gamal Abdel Nasser dan pan-Arabisme yang dianggap mengancam stabilitas internal dan ambisi regional mereka. Sementara Israel mencari sekutu non-Arab untuk mengimbangi isolasi diplomatiknya, Iran melihat Israel sebagai pintu masuk menuju pengaruh di Barat dan sumber teknologi militer.

    Kedekatan ini begitu kuat bahkan setelah perang Arab-Israel 1967, ketika sebagian besar dunia Islam mengutuk Israel. Namun, bagi Teheran saat itu, keberhasilan Israel dalam menaklukkan Mesir, Suriah, dan Yordania justru meningkatkan kepercayaan bahwa Israel adalah mitra strategis yang efektif. Di belakang layar, kedua negara memperkuat kerja sama intelijen, militer, dan ekonomi, termasuk dalam mendukung kelompok Kurdi untuk menggoyang kekuasaan Ba'ath di Irak.

    Kerja sama ini mencapai puncaknya saat krisis minyak 1973 melanda dunia. Ketika negara-negara Arab menghentikan ekspor minyak ke Barat sebagai bentuk protes terhadap dukungan mereka kepada Israel, Iran justru mengambil keuntungan dengan meningkatkan ekspor dan meraup pendapatan besar. Minyak Iran menjadi penyelamat Barat, dan Israel pun tetap mendapat pasokan energi dari negara non-Arab tersebut.

    Tidak hanya itu, proyek rahasia bernama Project Flower yang diluncurkan pada tahun 1977 menjadi simbol kolaborasi teknologi militer kedua negara. Melalui proyek ini, Israel dan Iran mengembangkan sistem rudal bersama. Ironisnya, teknologi yang dikembangkan saat itu kemungkinan menjadi dasar bagi sistem persenjataan yang kini digunakan Iran untuk membalas serangan Israel.

    Namun sejarah kemudian mengambil jalan yang berbeda. Revolusi Iran 1979 menggulingkan Shah dan mengangkat Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin tertinggi republik Islam yang baru. Secara resmi, Iran menjadi musuh Israel dan menolak mengakui eksistensinya. Tapi secara diam-diam, jalur komunikasi dan kerja sama militer tetap berjalan, terutama saat Irak di bawah Saddam Hussein menyerang Iran pada 1980.

    Dalam perang Iran-Irak yang berlangsung delapan tahun, Israel menjadi salah satu pemasok senjata utama Iran, termasuk melalui skandal Iran-Contra yang melibatkan juga AS. Meskipun Iran mengutuk Israel secara terbuka, kebutuhan akan senjata dan dukungan intelijen membuat keduanya tetap menjalin relasi di balik layar. Hubungan ini, meski tidak harmonis, tetap berlangsung hingga awal 1990-an.


    Menariknya, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dulu menjadi musuh utama Israel, pernah memiliki relasi baik dengan Iran. Sebelum revolusi 1979, PLO turut mendukung gerakan anti-Shah dan setelah revolusi, Iran membalas dengan memberi ruang bagi perjuangan Palestina. Namun, semuanya berubah ketika PLO menandatangani Perjanjian Oslo dengan Israel pada 1993. Iran merasa dikhianati dan mulai beralih mendukung kelompok Hamas yang tak kompromi dengan penjajahan Israel di Palestina.

    Sebelum revolusi Iran, baik Iran maupun Israel juga pernah melakukan operasi militer terhadap kelompok-kelompok Kurdi yang memiliki afiliasi dengan PLO. Kerja sama intelijen antara Mossad dan SAVAK (dinas rahasia Iran) begitu erat dalam menghambat pengaruh PLO di kawasan Kurdi. Hubungan Iran dengan kelompok Kurdi memang kompleks dan seringkali pragmatis sesuai arah politik luar negerinya.

    Di sisi lain, Benjamin Netanyahu muda juga pernah memiliki pandangan yang sejalan dengan agenda antikomunis AS di Afghanistan. Dalam wawancara tahun 1982, ia menyatakan bahwa jika Uni Soviet dan proksinya PLO dihilangkan, maka jaringan terorisme internasional akan runtuh. Ini menempatkan Netanyahu pada posisi yang selaras dengan kelompok mujahidin yang didukung AS, Eropa, Pakistan dll untuk melawan invasi Soviet ke Afghanistan.

    Dengan demikian, posisi Israel di masa lalu tidak sepenuhnya hitam-putih dalam mendukung atau menentang kelompok Islam. Selama tujuannya sejalan dengan kepentingan strategis Israel, kolaborasi tetap dimungkinkan, termasuk dengan Iran, yang kini justru menjadi musuh utamanya. Sejarah mencatat bahwa hubungan antarnegara di kawasan ini lebih cair daripada yang tampak di permukaan.

    Usaha Iran membentuk poros perlawanan terhadap Israel pasca-Oslo juga menjadi awal dari keterasingannya. Hamas dan Hezbollah menjadi mitra baru Teheran dalam perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai penjajahan Zionis, itu usai Israel mulai membentuk proksinya di sebagian kalangan Kurdi, baik melalui The Kurdistan Free Life Party, atau PJAK maupun Kurdistan Freedom Party atau PAK untuk melukai Garda Revolusi dari dalam. Juga kerja sama Israel dengan sisa rejim lama dipimpin Reza Pahlavi serta kolaborasi Mossad dengan Mojahedin-e-Khalq (MEK) di Albania yang justru sebelumnya adalah partner Saddam Hussein musuh Tel Aviv, dalam sabotase fasilitas nuklir Iran. Itu belum termasuk eksploitasi Mossad ke pengungsi Afghanistan dan kelompok minoritas sepertu Bahai dll untuk sabotase keamanan internal Iran.

    Perlawanan Iran di mata Israel dan Barat justru mengukuhkan label terorisme dan memperburuk posisi diplomatik Iran secara global, sementara terorisme Israel di kawasan dianggap hal wajar.

    Penolakan Iran terhadap hegemoni AS dan Israel pun membuatnya terpinggirkan dalam tatanan geopolitik baru. Sementara Israel semakin dekat dengan negara-negara Arab Teluk melalui Abraham Accords, Iran justru semakin dikucilkan. Bahkan Rusia dan China, yang sebelumnya menjadi sekutu Iran dalam retorika anti-Barat, kini lebih berhati-hati dalam memberi dukungan nyata, terutama di usai konflik Suriah di masa lalu, isu Ukraina yang masih berlangsung dan ketegangan dengan AS.

    Kini, saat rudal-rudal Iran dan Israel saling meluncur di langit Suriah dan Lebanon, banyak yang lupa bahwa keduanya dulu pernah duduk di meja yang sama, berbagi kepentingan dan strategi untuk menundukkan lawan bersama. Namun seiring waktu, realitas politik dan perubahan rezim membuat kedekatan itu runtuh, berganti dengan konfrontasi terbuka dan perang proksi yang tidak kunjung usai.

    Keterasingan Iran di dunia internasional saat ini bisa dikatakan sebagai akumulasi dari perubahan arah kebijakan luar negeri dan konsistensinya dalam melawan pengaruh Barat atau bisa juga dimaknai; Barat dan Israel sudah tak membutuhkan Iran dalam percaturan politik regional.

    Namun, tidak bisa diabaikan bahwa sebagian proses isolasi ini turut dipicu oleh kerja sistematis Israel dan sekutunya dalam menggiring narasi ancaman global yang bersumber dari Teheran.

    Apa yang terjadi hari ini adalah babak baru dari sebuah konflik panjang yang dulu pernah diwarnai kepercayaan dan kerja sama. Sejarah membuktikan bahwa di dunia geopolitik, tidak ada musuh atau sahabat yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang selalu berubah sesuai waktu dan kondisi. Israel dan Iran hanyalah contoh paling mencolok dari dinamika itu.

    No comments:

    Post a Comment

    loading...


    Aneka

    Tentang Kami

    Www.TobaPos.Com berusaha menyajikan informasi yang akurat dan cepat.

    Pembaca dapat mengirim rilis dan informasi ke redaksi.dekho@gmail.com

    Indeks Berita