Ketegangan yang kian meningkat usai serangan Israel ke Iran tidak hanya mengguncang kawasan Timur Tengah, tetapi juga menyeret negara-negara lain ke dalam pusaran krisis yang kompleks. Salah satunya adalah India, yang kini menempati posisi geopolitik yang sangat ambigu. Di satu sisi, India adalah mitra dekat Israel dalam bidang pertahanan dan teknologi militer. Namun di sisi lain, India juga memiliki kepentingan strategis yang besar di Iran, terutama dalam pengelolaan Pelabuhan Chabahar dan koridor dagang INSTC yang vital bagi aksesnya ke Asia Tengah.
India saat ini menjadi salah satu pemasok utama suku cadang dan sistem persenjataan untuk Israel, termasuk dalam operasi militer di Gaza dan kemungkinan eskalasi ke Iran. Beberapa perusahaan konglomerasi India, seperti Adani Group, telah terlibat dalam produksi drone tempur Hermes-900, sebuah sistem udara tak berawak rancangan Israel yang digunakan dalam serangan presisi jarak jauh. Drone ini memainkan peran penting dalam operasi-operasi ofensif Israel, termasuk yang diarahkan terhadap sasaran strategis di wilayah musuh.
Namun di sisi lain, India tetap mempertahankan hubungan ekonomi dan diplomatik yang erat dengan Iran, terutama melalui pengelolaan Pelabuhan Chabahar yang berada di kawasan Balochistan Iran. Pelabuhan ini bukan hanya penting untuk kepentingan logistik dan perdagangan, tetapi juga bagi operasi intelijen India di wilayah tersebut. Melalui badan intelijennya, RAW, India diduga memanfaatkan akses di Balochistan untuk memantau dan mempengaruhi dinamika politik di Pakistan, terutama dalam rangka menciptakan instabilitas yang menguntungkan kepentingan India.
Menariknya, seorang pejabat Pakistan baru-baru ini menyatakan dukungan moral terhadap aksi bela diri Iran dalam menghadapi serangan Israel. Meskipun pernyataan itu bersifat simbolik, tetapi mendapat sambutan positif dari parlemen Iran yang menilai hal tersebut sebagai bentuk solidaritas regional di tengah isolasi global yang dihadapi Teheran. Dukungan moral dari Pakistan, meski tidak dibarengi tindakan nyata, memberi Iran sedikit napas diplomatik dalam tekanan yang semakin meningkat.
Sikap ambigu India mencerminkan dilematis geopolitik yang semakin nyata di era multipolar seperti sekarang. India ingin tetap menjadi mitra utama Israel dalam bidang pertahanan, sambil juga memastikan eksistensinya di Iran tidak terganggu. Di tengah situasi seperti ini, India berusaha menampilkan diri sebagai kekuatan mandiri yang mampu menjalin relasi strategis dengan berbagai kekuatan besar sekaligus.
Namun sejarah mencatat bahwa keterlibatan India dalam aktivitas destabilisasi bukanlah hal baru. Sejak masa partisi India dan Pakistan pada 1947, hubungan kedua negara diwarnai oleh konflik dan tuduhan saling campur tangan. Salah satu puncaknya adalah saat India mendukung gerakan pemisahan Pakistan Timur, yang akhirnya melahirkan negara Bangladesh pada 1971. Sejak saat itu, Pakistan selalu mencurigai peran India dalam berbagai aksi sabotase dan terorisme lintas batas.
Ketegangan India-Pakistan tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga merembet ke wilayah udara, siber, dan kini wilayah maritim seperti yang terjadi di sekitar Laut Arab dan Teluk Persia. Keterlibatan India dalam proyek Pelabuhan Chabahar dan koridor INSTC membuat Pakistan semakin waspada, mengingat proyek ini bisa dijadikan sebagai jalur pasokan logistik militer dan pengaruh strategis terhadap Asia Tengah.
Dalam konteks global, posisi India semakin kompleks dengan adanya laporan bahwa negara tersebut akan menjalin kerja sama pertukaran intelijen dengan Kanada. Hal ini terjadi di tengah bayang-bayang kasus pembunuhan aktivis Sikh Hardeep Singh Nijjar di Kanada, yang diduga kuat diperintahkan oleh pemerintah India. Meskipun sempat memicu krisis diplomatik, kedua negara tampaknya mulai mencari jalan tengah untuk mengatasi ancaman kejahatan internasional dan ekstremisme yang berkembang.
Perubahan sikap Kanada, yang kini terbuka untuk kerja sama intelijen dengan India, menunjukkan bahwa dalam politik global, kepentingan keamanan sering kali menutupi pelanggaran serius terhadap hukum internasional. India, meskipun dituduh merancang pembunuhan politik di luar negeri, tetap menjadi mitra strategis bagi banyak negara Barat dalam menghadapi ancaman terorisme lintas negara.
Di dalam negeri, India pun tidak luput dari kritik karena keterlibatannya dalam konflik luar negeri yang tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip netralitas yang pernah diusungnya dalam Gerakan Non-Blok. Kini, di bawah kepemimpinan politik nasionalis, India lebih condong memainkan peran sebagai kekuatan regional yang aktif menentukan arah geopolitik melalui aliansi militer dan ekonomi.
Dengan terus meningkatnya konflik antara Iran dan Israel, India kini berada di tengah pusaran dilematis: antara loyalitas industri pertahanannya terhadap Israel dan ketergantungan ekonominya terhadap Iran. Setiap langkah India kini dipantau ketat tidak hanya oleh Iran dan Israel, tetapi juga oleh negara-negara lain yang berkepentingan terhadap stabilitas kawasan.
Adanya kemungkinan perluasan perang ke kawasan Laut Arab atau bahkan kawasan strategis Teluk Oman, membuat Pelabuhan Chabahar kini menjadi pusat perhatian dunia. Jika konflik semakin memanas, maka pelabuhan tersebut bisa menjadi target atau bahkan pangkalan militer bagi pihak-pihak tertentu. Posisi India sebagai pengelola Chabahar akan menghadapi ujian yang sangat berat.
India sendiri belum secara terbuka mengutuk serangan Israel ke Iran, tetapi retorika yang digunakan menunjukkan kehati-hatian untuk tidak merusak hubungan dengan Tel Aviv. Namun tekanan dari dalam negeri, termasuk dari komunitas Muslim dan beberapa kelompok oposisi, bisa memaksa pemerintah India mengambil sikap yang lebih terbuka dalam waktu dekat.
Dalam skenario terburuk, jika konflik terus membesar dan Iran merespons dengan menutup Selat Hormuz, India akan menghadapi tantangan besar dalam pemenuhan energi dan distribusi logistik kawasan. Saat itulah India akan benar-benar diuji antara memilih jalur pragmatis atau prinsip politik luar negeri yang berimbang.
Selama ini India telah memposisikan diri sebagai negara yang mampu berbicara dengan semua pihak. Namun dalam konflik Iran-Israel, kemampuan India untuk tetap berada di tengah-tengah mulai diragukan. Apalagi ketika kepentingan ekonominya bersinggungan langsung dengan operasi militer salah satu pihak.
Ke depan, India harus memutuskan apakah akan tetap bermain di dua sisi yang saling bermusuhan atau mulai menegaskan posisinya dalam peta geopolitik global yang terus berubah. Ketidaktegasan bisa membuat India kehilangan kepercayaan dari kedua pihak, sementara keberpihakan bisa memicu konsekuensi strategis jangka panjang.
Apa pun pilihannya, posisi India dalam konflik ini akan menjadi barometer bagi arah kebijakan luar negeri negara-negara berkembang yang mencoba bertahan di tengah rivalitas kekuatan besar. India kini tidak hanya menjadi pemain regional, tapi juga aktor global yang harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihan strategisnya.
No comments:
Post a Comment