Di tengah lebatnya hutan Riau, tersembunyi sebuah komunitas adat yang menyimpan warisan leluhur yang kaya, Suku Batin Singameraja. Kelompok masyarakat ini, bagian dari Suku Sakai yang lebih besar, memiliki sejarah dan budaya yang unik, terjalin erat dengan alam dan tradisi.
Asal usul nama "Sakai" sendiri masih menjadi misteri. Ada yang menduga berasal dari nama pohon yang tumbuh subur di Kecamatan Mandau, pohon "Sikai". Pendapat lain menyebutkan, nama itu diambil dari sungai, Sungai Sikai.
Namun, para tetua adat Suku Sakai meyakini, nama "Sakai" baru muncul pada masa penjajahan Jepang. Sebelumnya, mereka dikenal sebagai "Uang Daek" atau "Suku Pebatin", meski nama Sakai sudah ada di Riau dan Sumatera Barat jauh sebelum era Jepang.
Istilah "Sakai" digunakan tentara Jepang untuk membedakan masyarakat sipil dari pejuang. Sebutan "orang sakai" pun melekat hingga kini, sementara nama "Uang Daek" perlahan menghilang. Suku Sakai, termasuk Batin Singameraja, memiliki kebudayaan asli yang berbeda dengan suku Melayu lainnya di Riau.
Catatan sejarah menunjukkan, sebelum terbentuknya budaya yang ada saat ini, Suku Sakai hidup terisolasi di hutan belantara "Batin Selapan". Hanya segelintir orang Melayu yang berani menembus rimba tersebut. Sebagai ras Veddoid asli, wilayah hukum adat Perbatinan Sakai telah diakui jauh sebelum Kesultanan Siak Sri Indrapura berdiri.
Oleh karena itu, budaya Sakai mengenal "Hak Ulayat", hak pengelolaan wilayah yang dipegang oleh komunitas adat.
Namun, keberadaan Sakai terus terdesak oleh budaya Melayu Siak, Rokan, dan Tapung, serta kepentingan pembangunan. Akibatnya, eksistensi Hak Ulayat Suku Sakai semakin memudar.
Sistem kekerabatan Suku Sakai yang asli adalah matrilineal, mengikuti garis keturunan perempuan. Namun, pengaruh budaya Melayu yang didominasi Islam mengubah sistem ini menjadi bilineal, mengakui garis keturunan ayah dan ibu.
Sistem kepemimpinan tradisional Suku Sakai adalah "Perbatinan", mirip dengan kepala suku atau penghulu dalam budaya Melayu. Perbatinan Sakai terdiri dari "Batin Selapan" dan "Batin Limo", yang wilayahnya mencakup beberapa daerah di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.
Batin Singameraja merupakan salah satu dari lima Batin Limo. Kelompok kerabat ini memiliki induk, yaitu Batin Tengganau. Masing-masing Batin memiliki wilayah kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri.
Mata pencaharian utama Suku Sakai adalah bertani dan mengumpulkan hasil hutan, sangat bergantung pada alam. Sebagian besar tidak memiliki pekerjaan tetap, bekerja serabutan atau musiman.
Selain itu, mereka juga berkebun secara subsisten, menanam ubi lambau dan ubi menggalau, serta menangkap ikan untuk konsumsi sendiri. Suku Sakai memiliki pengetahuan mendalam tentang hutan dan sumber daya alamnya.
Kearifan lokal ini diwariskan secara turun-temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Meski menghadapi tantangan modernisasi, Suku Batin Singameraja tetap berusaha mempertahankan tradisi dan budaya leluhur.
Upaya ini penting untuk menjaga keberagaman budaya Indonesia, serta melindungi hak-hak masyarakat adat.
Suku Batin Singameraja, dengan segala keunikan dan kearifan lokalnya, adalah bagian tak ternilai dari kekayaan budaya Riau dan Indonesia.
No comments:
Post a Comment