KHARTOUM — Di tengah berkecamuknya perang saudara yang melanda Sudan, sebuah perkembangan signifikan muncul dari wilayah timur. Suku Rashaida, sebuah kelompok etnis nomaden yang dikenal karena tradisi konservatif dan peternakan unta, secara resmi mengumumkan pembentukan milisi sipil untuk bergabung dalam perang. Pasukan yang dinamai "Pasukan Perisai Sudan" ini menyatakan kesetiaan penuh kepada Pemerintahan Sudan di Khartoum yang dikelola Angkatan Bersenjata Sudan (SAF).
Langkah tak terduga ini diumumkan oleh seorang pemimpin suku Rashayda melalui sebuah pidato. Pidato yang terekam dalam sebuah video tersebut menjadi sorotan karena secara gamblang menjelaskan posisi dan motivasi suku tersebut dalam konflik yang telah berlangsung berbulan-bulan.
Dalam pidatonya, pemimpin suku tersebut menyatakan bahwa kelompok mereka adalah warga sipil biasa yang terpaksa mengangkat senjata. Mereka bertindak demikian setelah menyaksikan kehancuran dan penderitaan yang meluas di berbagai kota, mulai dari Khartoum hingga Madani dan Darfur.
Mereka melihat Angkatan Bersenjata Sudan sebagai satu-satunya entitas yang sah untuk mempertahankan kedaulatan negara. Oleh karena itu, bagi mereka, mendukung SAF bukanlah pilihan, melainkan sebuah kewajiban nasional.
Pasukan yang baru dibentuk ini, bersama dengan cabang-cabang regionalnya seperti "Pasukan Perisai Sudan Timur" dan "Pasukan Perisai Negara Bagian Kassala," memiliki satu tujuan utama. Tujuan itu adalah untuk membela rakyat, melindungi properti mereka, dan menjaga kehormatan suku dan negara dari ancaman yang mereka sebut sebagai "pemberontakan" dan "agresi".
Mereka meyakini bahwa konflik yang terjadi didorong oleh campur tangan asing yang bertujuan untuk memecah belah Sudan. Dengan alasan ini, mereka merasa terpanggil untuk berdiri di garis depan pertempuran.
Posisi milisi Rashayda ini adalah sebagai pendukung setia dan sekutu strategis bagi Angkatan Bersenjata Sudan. Mereka mengintegrasikan kekuatan sipil mereka ke dalam upaya militer SAF untuk menumpas kelompok pemberontak atau RSF yang mendirikan pemerintahan paralel di Nyala.
Hal ini menunjukkan pergeseran penting dalam dinamika konflik. Semakin banyak kelompok etnis yang secara aktif terlibat, mengubah perang dari pertarungan antara dua faksi militer menjadi konflik yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat Sudan.
Pengumuman ini juga menyiratkan pesan kuat dari suku Rashayda. Pesan ini bukan hanya ditujukan kepada para pemberontak, tetapi juga kepada pemerintah Sudan sendiri.
Pemimpin suku itu menyampaikan bahwa suku mereka telah lama menderita akibat marginalisasi. Mereka merasa hak-hak mereka di bidang pendidikan, pekerjaan, dan pembangunan sering kali diabaikan.
Oleh karena itu, keterlibatan mereka dalam perang juga menjadi alat tawar-menawar. Mereka berharap, setelah kemenangan diraih, pemerintah akan menepati janji untuk memberikan hak-hak penuh kepada suku Rashayda.
Dalam pidato tersebut, mereka secara tegas menyatakan tidak akan mentolerir ketidakadilan. Mereka akan berjuang untuk memastikan bahwa hak-hak mereka diakui dan dijamin oleh pemerintah.
Mereka juga mengirimkan peringatan keras kepada pihak "pemberontak" bahwa wilayah Sudan timur adalah zona yang tidak boleh disentuh. Suku Rashayda menegaskan bahwa mereka bersatu untuk melindungi wilayah mereka.
Dengan pernyataan ini, mereka menunjukkan bahwa kontrol atas wilayah timur, termasuk Kassala, akan dipertahankan dengan segala cara. Ini adalah pesan yang sangat penting karena wilayah tersebut merupakan titik strategis.
Secara geografis, suku Rashayda adalah suku Badui Arab yang bermigrasi dari Jazirah Arab pada abad ke-19. Mereka adalah komunitas nomaden yang melintasi perbatasan antara Sudan dan Eritrea.
Di Sudan, suku ini sebagian besar menetap di wilayah timur, khususnya di Negara Bagian Kassala dan Negara Bagian Laut Merah. Kehadiran mereka di wilayah ini menjadikan mereka memiliki posisi strategis di tengah konflik.
Komunitas Rashaida di Eritrea juga signifikan, yang menunjukkan bagaimana suku ini tidak dibatasi oleh batas-batas negara modern.
Dengan pengalaman mereka sebagai penggembala unta nomaden, mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang medan gurun dan dataran kering. Ini adalah aset yang sangat berharga dalam operasi militer.
Keterlibatan mereka menambah dimensi baru pada perang Sudan, menyoroti kompleksitas etnis dan politik di negara tersebut. Posisi mereka menunjukkan bagaimana konflik ini merasuki setiap aspek kehidupan sosial dan budaya Sudan.
No comments:
Post a Comment