Sejarah marga Hasibuan di Sumatera Utara menyimpan kisah panjang yang sarat percampuran budaya, keyakinan, dan dinamika politik lokal sejak berabad-abad lalu. Marga ini dipercaya sudah ada sejak abad ke-13, berakar dari wilayah Barumun Padang Lawas yang kala itu menjadi pusat interaksi berbagai kelompok etnis.
Menurut data yang ditulis Ridwean Selian, Te., pada tahun 2023, leluhur utama marga Hasiboean adalah Soetan Moget Sasaboean, putra dari Mangaradja Lela Toeha. Dari sinilah garis keturunan besar marga Hasibuan dimulai dan menyebar ke berbagai daerah di Tapanuli hingga Angkola dan Asahan.
Pada abad ke-13, Suku Hasiboean memilih bermukim di daerah Oeloe Baroemoen atau hulu Barumun. Pilihan itu karena tanah tersebut masih kosong dan belum berpenghuni. Dari sinilah awal mula kampung Hasibuan berdiri.
Seiring waktu, terjadi pertikaian antara Suku Hasiboean dengan komunitas Hindu di Padang Lawas. Pertikaian itu membuat wilayah Padang Lawas dikuasai Hasiboean. Beberapa peninggalan berupa candi-candi dikisahkan mulai ditinggalkan, yang diduga menandai peralihan agama Hasiboean ke Islam lebih awal dibanding kelompok sekitar.
Setelah menguasai Padang Lawas, Suku Hasiboean meluaskan pengaruhnya ke wilayah Suku Dadi atau Dalimunte. Konflik ini berakhir dengan Hasiboean yang menguasai wilayah tersebut. Peristiwa ini menegaskan bahwa sejak abad ke-13, Hasibuan sudah memainkan peran penting dalam dinamika lokal di Barumun.
Pada abad ke-14, Suku Hasiboean kembali berperang, kali ini dengan Suku Tambak. Pertempuran itu dimenangkan Hasiboean, sehingga wilayahnya semakin meluas. Dominasi ini meneguhkan posisi mereka sebagai salah satu kekuatan besar di kawasan Padang Lawas kala itu. Tambak atau Tamba merupakana bagian dari kelompok Tubba Nan Ampek Suku yang mencakup Sumba, Pohan, Tamba dan Lontung.
Ketika memasuki abad ke-15, perubahan besar terjadi. Para leluhur Hasiboean mulai menggunakan gelar sultan sebagai simbol kekuasaan dan status sosial. Mangaradja Lela Toeha yang tinggal di Sungai Barumun memiliki lima anak yang berperan penting dalam penyebaran keturunan Hasiboean.
Lima anak itu adalah Sutan Moget Saboengan, pendiri garis Hasibuan di Toba; Bat'ara Guru Doli; Si Basapai, pendiri Hasibuan di Silindung; Basapai lainnya; dan Sutan Moget Sasaboean, yang menjadi leluhur utama garis keturunan besar Hasibuan. Dari Sutan Moget Sasaboean lahir tokoh-tokoh penting seperti Guru Mangaloksa dan Guru Hinobaan.
Di abad yang sama, keturunan Basapai pindah ke Silindung. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah Sakakris Si Porgoembangan, yang menjadi leluhur Hasibuan di Silindung. Sementara saudaranya, Sutan Namora Pinoenkon, memilih pindah ke Toba dan menjadi leluhur Hasibuan di kawasan itu.
Perpindahan demi perpindahan membuat marga Hasibuan semakin menyebar. Dari Sungai Barumun, mereka beranak-pinak ke lembah Silindung, ke wilayah Toba, dan sebagian besar pindah ke Angkola. Dari Angkola, sebagian menetap di Batang Onang, lalu ke Sosa, hingga akhirnya mencapai Asahan.
Proses penyebaran ini juga diwarnai dengan percampuran identitas budaya. Dalam perkembangannya, Hasibuan berinteraksi dengan orang Rao. Dari percampuran ini lahir kelompok yang dikenal dengan Handang Kopo atau Kandang Kopuah, yang di kalangan Rao dianggap ekuivalen dengan kasta ksatria.
Sejarah mencatat bahwa sejak abad ke-13, banyak dari keturunan Hasibuan menganut Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islamisasi di Barumun dan Padang Lawas terjadi lebih awal dari perkiraan sebelumnya. Kehadiran Hasibuan yang Muslim juga mempercepat perubahan keagamaan di kawasan itu.
Namun, memasuki abad ke-17, kekuatan politik dan wilayah Hasibuan mulai mengalami penyusutan. Pada masa ini, suku Nasution bangkit dan berhasil memperluas pengaruhnya di Barumun. Pergeseran ini membuat Hasibuan kehilangan sebagian kekuasaan teritorialnya, meski identitas marganya tetap lestari.
Kendati kekuasaan politiknya berkurang, Hasibuan tetap bertahan sebagai identitas marga yang kuat. Penyebaran ke berbagai daerah memungkinkan marga ini beradaptasi dalam lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Hal itu menjadi modal bertahan hidup yang berharga.
Hingga kini, marga Hasibuan dikenal luas tidak hanya di Tapanuli Selatan, tetapi juga di Toba, Silindung (Siopat Pusoran) dan Sibolga (pendiri Sibolga dikenal seorang muslim dari kalangan Hasibuan Tuanku Dorong Hutagalung), Angkola, bahkan hingga ke Asahan dan daerah rantau. Jejak sejarah mereka masih bisa dilacak melalui silsilah yang dipegang erat oleh keturunannya.
Cerita tentang asal-usul Hasibuan juga memperlihatkan adanya dinamika antara Islam dan adat Batak. Perubahan agama, peperangan, hingga percampuran etnis memperkaya corak sejarah marga ini.
Dari segi tradisi, Hasibuan juga masih memegang erat hubungan dengan marga-marga sekeluarga lainnya. Keberadaan Guru Mangaloksa, Guru Hinobaan, hingga keturunan Basapai menjadi bukti bahwa keturunan Hasibuan telah mekar menjadi berbagai marga lokal seperti Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, hingga Hutatoruan.
Penyebaran marga ini juga ikut membentuk struktur sosial di Sumatera Utara. Di banyak daerah, Hasibuan sering menjadi bagian penting dalam kepemimpinan adat maupun dalam perkembangan Islam setempat.
Dengan sejarah yang panjang dan penuh dinamika, marga Hasibuan tetap menjadi salah satu identitas Batak yang berpengaruh. Jejak mereka dari Barumun, Padang Lawas, hingga ke daerah rantau menunjukkan kekuatan adaptasi sekaligus konsistensi dalam menjaga warisan leluhur.
Hari ini, generasi keturunan Hasibuan tidak hanya mewarisi marga, tetapi juga sejarah panjang yang dimulai sejak abad ke-13. Kisah ini bukan sekadar silsilah keluarga, melainkan bagian penting dari perjalanan sejarah Sumatera yang kaya akan warna dan identitas.
No comments:
Post a Comment