Tobapos -- Yayasan Rumah Peneleh bekerjasama dengan Pusat Studi pemikiran Islam Nusantara memperingati 110 Tahun Syarikat Dagang Islam (1905-2015), dengan menggelar Sarasehan Nasional bertema "Kebangkitan Nasional Politik dan Bisnis Saudagar Muslim Indonesia" di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/10). Acara tersebut menghadirkan budayawan Zamawi Imron, dan Anhar Gonggong.
Menurut Ketua Yayasan Peneleh, Aji Dedi Mulawarman, Syarekat Dagang Islam inilah yang memicu kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Aji mengatakan Rumah Peneleh merupakan simbol lahirnya para pemimpin besar seperti Soekarno dan Agus Salim.
"Negeri ini telah runtuh hanya tinggal puing-puing, namun, kita tidak mesti pesimis. Mari kita tetap optimis bahwa negeri ini masih bisa dibangun dengan semangat. Itu yang kita inginkan," kata dia.
Aji berpandangan, untuk mengembalikan kedaulatan, sudah saatnya melakukan hijrah kebangkitan nasional baru melalui empat momen, yakni hijrah sejarah, demokrasi, ekonomi, dan kebudayaan.
Hijrah kesejarahan menurut Aji, diawali lahirnya organisasi modern pertama yaitu Sarekat Dagang Islam yang dibentuk oleh H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Fakta, bahwa negeri ini telah menorehkan 20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional merupakan reduksi sejarah yang mewujud dari mental orientalis. Sebagaimana Belanda, sambung dia, telah berhasil mereduksi keberadaan peran wali songo sampai hancurnya jejak situs kerajaan Demak, untuk menghilangkan peran sentral Islam di negeri ini.
“Jika kita masih mengakui Soekarno sebagai salah satu pendiri bangsa, maka kita harus meyakini pula bahwa kita tidak boleh melupakan sejarah seperti ditegaskan beliau Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah),” terangnya.
Ia menegaskan, sejarah menunjukkan bahwa Soekarno adalah murid yang sangat mencintai guru utamanya HOS Tjokroaminoto. Tak ada yang melebihi beliau sebagaimana beliau mengucapkan “Cerminku adalah Tjokroaminoto”. Artinya, Tjokroaminoto adalah guru kita semua, guru para pemimpin negeri ini.
Menurut Ketua Yayasan Peneleh, Aji Dedi Mulawarman, Syarekat Dagang Islam inilah yang memicu kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Aji mengatakan Rumah Peneleh merupakan simbol lahirnya para pemimpin besar seperti Soekarno dan Agus Salim.
"Negeri ini telah runtuh hanya tinggal puing-puing, namun, kita tidak mesti pesimis. Mari kita tetap optimis bahwa negeri ini masih bisa dibangun dengan semangat. Itu yang kita inginkan," kata dia.
Aji berpandangan, untuk mengembalikan kedaulatan, sudah saatnya melakukan hijrah kebangkitan nasional baru melalui empat momen, yakni hijrah sejarah, demokrasi, ekonomi, dan kebudayaan.
Hijrah kesejarahan menurut Aji, diawali lahirnya organisasi modern pertama yaitu Sarekat Dagang Islam yang dibentuk oleh H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Fakta, bahwa negeri ini telah menorehkan 20 Mei 1908 sebagai hari Kebangkitan Nasional merupakan reduksi sejarah yang mewujud dari mental orientalis. Sebagaimana Belanda, sambung dia, telah berhasil mereduksi keberadaan peran wali songo sampai hancurnya jejak situs kerajaan Demak, untuk menghilangkan peran sentral Islam di negeri ini.
“Jika kita masih mengakui Soekarno sebagai salah satu pendiri bangsa, maka kita harus meyakini pula bahwa kita tidak boleh melupakan sejarah seperti ditegaskan beliau Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah),” terangnya.
Ia menegaskan, sejarah menunjukkan bahwa Soekarno adalah murid yang sangat mencintai guru utamanya HOS Tjokroaminoto. Tak ada yang melebihi beliau sebagaimana beliau mengucapkan “Cerminku adalah Tjokroaminoto”. Artinya, Tjokroaminoto adalah guru kita semua, guru para pemimpin negeri ini.
“Apabila kita memahami bahwa Tjokroaminoto adalah guru kita semua dan beliau adalah pejuang paling tangguh penerus perjuangan Sarekat Dagang Islam –kemudian berubah menjadi Sarekat Islam--, maka selayaknyalah momen 16 Oktober 1905 adalah momen kebangkitan sesungguhnya,” ujarnya.
Hijrah kedua, lanjut Aji, adalah hijrah dari demokrasi liberal menuju Musyawarah sebagaimana cita-cita Pancasila sila keempat. Dia bilang, musyawarah adalah amanah konstitusi yang harus dijaga demi menjaga persatuan Indonesia. Founding fathers kita jelas sekali lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam keterwakilan, untuk memilih pemimpin negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif.
“Yang terjadi saat ini adalah sistem pemilihan umum kita adalah sistem pemilihan umum paling kompetitif, yang berlawanan dengan sistem musyawarah. Siapa yang punya nama dan uang dialah yang menang,” tegasnya.
Hijrah ketiga, kata Aji, hijrah dari ekonomi neoliberal menuju ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial seperti diamanatkan dalam sila kelima Pancasila. Saat ini, kita telah terjebak dalam ukuran-ukuran universal numerik seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, anggaran defisit, nilai uang, dan harga minyak dunia. Politik ekonomi kita juga diarahkan pada sistem ekonomi pasar bebas dan korporasi.
Menurutnya, seharusya kita membangun koperasi bukan korporat. Amandemen UUD 1945 No 33 telah menghilangkan koperasi. Seharusnya, kita tetap menjaga kebersamaan dan kerakyatan dalam berekonomi, bukannya memicu individualisme ekonomi transaksional.
“Saatnya Negara melakukan hijrah kebangkitan melalui gerakan bangga koperasi,” katanya.
Hijrah keempat, lanjut Aji, adalah hijrah kebudayaan dan peradaban sebagaimana sila kedua Pancasila, manusia yang beradab. Kita dan anak anak kita-kita kini menjadi manusia-manusia universal yang hilang sudah akar budayanya. Gerusan globalisasi telah memproduksi manusia-manusia hedonis melalui pendidikan, melalui sekulerisasi dan westernisasi sistem pendidikan nasional.
Menurutnya, tujuan pendidikan nasional kita memang bertujuan mulia, mendidik manusia dan masyarakat bertakwa serta berjiwa kebangsaan untuk membangun Indonesia sebagai pusat peradaban dunia, tetapi tidak dalam implementasinya.
“Hari ini kita harus melakukan hijrah kebudayan dengan mengubah pola dari mengikuti desain peradaban yang ada menuju kesadaran berbudaya yang menjadikan kita pusat peradaban dunia. Ya, kitalah pusat peradaban dunia, bukan mereka,” tegasnya.
Dikatakannya, sudah saatnya kaum Sarekat Islam berhijrah, melakukan perubahan kurikulumnya, sebagaimana digagas HOS Tjokroaminoto melalui Moslem Nationaal Onderwijs. Sebagaimana Tjokroaminoto menuntut mosi di Volkstraad untuk membuat perubahan, maka, sudah saatnya kita melucurkan mosi Tjokroaminoto baru, Hijrah Baru untuk negeri, melalui kebangkitan nasional.
“Hari ini kita meneriakkan pada dunia bahwa Indonesia menggenggam kuat zelfbestur kesemestaan bertauhid, pemerintahan sendiri yang kokok untuk menyongsong semesta bertauhid. Inilah makna Pancasila yang sejati,” tukasnya. (rilis/adm)
Hijrah kedua, lanjut Aji, adalah hijrah dari demokrasi liberal menuju Musyawarah sebagaimana cita-cita Pancasila sila keempat. Dia bilang, musyawarah adalah amanah konstitusi yang harus dijaga demi menjaga persatuan Indonesia. Founding fathers kita jelas sekali lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam keterwakilan, untuk memilih pemimpin negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif.
“Yang terjadi saat ini adalah sistem pemilihan umum kita adalah sistem pemilihan umum paling kompetitif, yang berlawanan dengan sistem musyawarah. Siapa yang punya nama dan uang dialah yang menang,” tegasnya.
Hijrah ketiga, kata Aji, hijrah dari ekonomi neoliberal menuju ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial seperti diamanatkan dalam sila kelima Pancasila. Saat ini, kita telah terjebak dalam ukuran-ukuran universal numerik seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, anggaran defisit, nilai uang, dan harga minyak dunia. Politik ekonomi kita juga diarahkan pada sistem ekonomi pasar bebas dan korporasi.
Menurutnya, seharusya kita membangun koperasi bukan korporat. Amandemen UUD 1945 No 33 telah menghilangkan koperasi. Seharusnya, kita tetap menjaga kebersamaan dan kerakyatan dalam berekonomi, bukannya memicu individualisme ekonomi transaksional.
“Saatnya Negara melakukan hijrah kebangkitan melalui gerakan bangga koperasi,” katanya.
Hijrah keempat, lanjut Aji, adalah hijrah kebudayaan dan peradaban sebagaimana sila kedua Pancasila, manusia yang beradab. Kita dan anak anak kita-kita kini menjadi manusia-manusia universal yang hilang sudah akar budayanya. Gerusan globalisasi telah memproduksi manusia-manusia hedonis melalui pendidikan, melalui sekulerisasi dan westernisasi sistem pendidikan nasional.
Menurutnya, tujuan pendidikan nasional kita memang bertujuan mulia, mendidik manusia dan masyarakat bertakwa serta berjiwa kebangsaan untuk membangun Indonesia sebagai pusat peradaban dunia, tetapi tidak dalam implementasinya.
“Hari ini kita harus melakukan hijrah kebudayan dengan mengubah pola dari mengikuti desain peradaban yang ada menuju kesadaran berbudaya yang menjadikan kita pusat peradaban dunia. Ya, kitalah pusat peradaban dunia, bukan mereka,” tegasnya.
Dikatakannya, sudah saatnya kaum Sarekat Islam berhijrah, melakukan perubahan kurikulumnya, sebagaimana digagas HOS Tjokroaminoto melalui Moslem Nationaal Onderwijs. Sebagaimana Tjokroaminoto menuntut mosi di Volkstraad untuk membuat perubahan, maka, sudah saatnya kita melucurkan mosi Tjokroaminoto baru, Hijrah Baru untuk negeri, melalui kebangkitan nasional.
“Hari ini kita meneriakkan pada dunia bahwa Indonesia menggenggam kuat zelfbestur kesemestaan bertauhid, pemerintahan sendiri yang kokok untuk menyongsong semesta bertauhid. Inilah makna Pancasila yang sejati,” tukasnya. (rilis/adm)
No comments:
Post a Comment