Tobapos -- Penerapan Qanun Jinayah telah dilakukan setahun setelah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tepatnya 27 September 2014. Ada pro dan kontra dengan hukum baru tersebut, yang berlaku lokal di Aceh.
Pasca penerapannya, ternyata banyak warga Aceh mendukung hukum tersebut. Walaupun ada kekhawatiran, penerapan Qanun akan membawa dampak yang tidak baik ke keadaan ekonomi, khususnya sektor pariwisata.
"Kalau dibandingkan dengan daerah lain mungkin angka kemiskinan masyarakat Aceh jauh lebih sedikit," kata Win Syuhada, alumni Pesantren Al Kautsar Al Akbar, Medan, salah satu sekolah terbaik di Sumatera Utara, ketika berbincang-bincang dengan www.tobapos.com melalui Facebook beberapa hari yang lalu.
Pria yang berprofesi sebagai Hakim di Mahkamah Syar'iyah, Aceh ini menjelaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak beralasan. Menurutnya, sistem yang ada di luar daerah Aceh juga tidak terlalu baik dari segi ekonomi.
"Misal di Aceh, khususnya di daerah saya; sistem perkebunannya, perkebunan rakyat bukan seperti daerah lain sistem feodal misal PTPN III, IV atau apalah namanya. Tapi kalau kebun rakyat, kalau rakyat mau kaya ya silahkan giat bekerja, kalau tidak mau kaya ya malas-malasan. Kalau di PTPN, (walaupun) pekerja sudah banting tulang, capek kerja siang malam yang kaya tetap para bos kan?" katanya.
Selain itu, kata Win, Qanun tidak memberatkan perekonomian negara, justru sebaliknya.
"Kita lihat sisi positif dari sudut pandang APBN, kalau semua penjahat dimasukkan penjara berapa banyak APBN yang terserap ke sana? sebab berapa banyak duit untuk membiayai makan para penjahat tersebut? beda dengan sistem cambuk negara tidak perlu banyak mengeluarkan biaya. Sebab setelah dicambuk selesai, mereka bisa pulang ke rumah masing-masing dengan konsekuensi menanggung rasa malu," jelas Win.
Dia juga memberikan gambaran perbedaan dampak penerapan Hukum Positif (Pidana) dengan Qanun Jinayat, khususnya terhadap terhukum.
"Saya kasih kasusnya ada seorang laki-laki yang notabene beliau sebagai kepala rumah tangga atau tulang punggung dari sebuah keluarga yang kebetulan melakukan tindak pidana perjudian atau meminum minuman keras misalnya. Kalau seandainya dia dihukum penjara, misalnya 3 tahun, siapa yang akan mencari nafkah buat anak-anak dan isterinya karena dia sudah di penjara. Apakah itu tidak melanggar HAM anak dan isterinya yang butuh penghidupan dan perhatian dari seorang ayah atau isteri? Dibandingkan beliau dicambuk katakanlah 10 atau 15 kali yang pada prinsipnya cambuk itu tidak menyakitkan badan, setelah dicambuk dia bisa pulang ke rumah dan mencari nafkah lagi
jadi masih banyak jiwa yang terselamatkan," jelasnya.
Jadi, lanjutnya, filosofi hukuman cambuk itu prinsipnya preventif karena yang dihukum itu bukan fisiknya melainkan mentalnya. Seandainya ada orang yang ingin melakukan kejahatan yang dituntut dengan Qanun, dia akan berpikir dua kali karena ancamannya hukuman cambuk di depan orang ramai.
"Bahasa kasarnya, selama masih ada setan, kejahatan tidak akan pernah habis di muka bumi. Tapi minimal dengan adanya hukum cambuk (itu akan) meminimalisasi kejahatan. Daerah tersebut akan berkurang kejahatannya," tambah Win yang menamatkan gelar magisternya di Universitas Antara Bangsa, Malaysia.
Sebelumnya, beberapa lembaga masyarakat menolak penerapan Qanun Jinayat di Aceh. Di antaranya, disebut 'Qanun Jinayat Aceh tidak hanya bertentangan dengan dengan Undang-Undang Republik Indonesia tapi juga mengabaikan dan melupakan semangat dari Perjanjian Perdamaian Aceh (MoU Helsinki)', lihat tautannya di sini. (adm)
Pasca penerapannya, ternyata banyak warga Aceh mendukung hukum tersebut. Walaupun ada kekhawatiran, penerapan Qanun akan membawa dampak yang tidak baik ke keadaan ekonomi, khususnya sektor pariwisata.
"Kalau dibandingkan dengan daerah lain mungkin angka kemiskinan masyarakat Aceh jauh lebih sedikit," kata Win Syuhada, alumni Pesantren Al Kautsar Al Akbar, Medan, salah satu sekolah terbaik di Sumatera Utara, ketika berbincang-bincang dengan www.tobapos.com melalui Facebook beberapa hari yang lalu.
Pria yang berprofesi sebagai Hakim di Mahkamah Syar'iyah, Aceh ini menjelaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak beralasan. Menurutnya, sistem yang ada di luar daerah Aceh juga tidak terlalu baik dari segi ekonomi.
"Misal di Aceh, khususnya di daerah saya; sistem perkebunannya, perkebunan rakyat bukan seperti daerah lain sistem feodal misal PTPN III, IV atau apalah namanya. Tapi kalau kebun rakyat, kalau rakyat mau kaya ya silahkan giat bekerja, kalau tidak mau kaya ya malas-malasan. Kalau di PTPN, (walaupun) pekerja sudah banting tulang, capek kerja siang malam yang kaya tetap para bos kan?" katanya.
Selain itu, kata Win, Qanun tidak memberatkan perekonomian negara, justru sebaliknya.
Baca: Pro-Kontra Qanun Jinayat Aceh, Ini Hasil Diskusi TobaPos Dengan Win Syuhada
"Kita lihat sisi positif dari sudut pandang APBN, kalau semua penjahat dimasukkan penjara berapa banyak APBN yang terserap ke sana? sebab berapa banyak duit untuk membiayai makan para penjahat tersebut? beda dengan sistem cambuk negara tidak perlu banyak mengeluarkan biaya. Sebab setelah dicambuk selesai, mereka bisa pulang ke rumah masing-masing dengan konsekuensi menanggung rasa malu," jelas Win.
Dia juga memberikan gambaran perbedaan dampak penerapan Hukum Positif (Pidana) dengan Qanun Jinayat, khususnya terhadap terhukum.
"Saya kasih kasusnya ada seorang laki-laki yang notabene beliau sebagai kepala rumah tangga atau tulang punggung dari sebuah keluarga yang kebetulan melakukan tindak pidana perjudian atau meminum minuman keras misalnya. Kalau seandainya dia dihukum penjara, misalnya 3 tahun, siapa yang akan mencari nafkah buat anak-anak dan isterinya karena dia sudah di penjara. Apakah itu tidak melanggar HAM anak dan isterinya yang butuh penghidupan dan perhatian dari seorang ayah atau isteri? Dibandingkan beliau dicambuk katakanlah 10 atau 15 kali yang pada prinsipnya cambuk itu tidak menyakitkan badan, setelah dicambuk dia bisa pulang ke rumah dan mencari nafkah lagi
jadi masih banyak jiwa yang terselamatkan," jelasnya.
Jadi, lanjutnya, filosofi hukuman cambuk itu prinsipnya preventif karena yang dihukum itu bukan fisiknya melainkan mentalnya. Seandainya ada orang yang ingin melakukan kejahatan yang dituntut dengan Qanun, dia akan berpikir dua kali karena ancamannya hukuman cambuk di depan orang ramai.
"Bahasa kasarnya, selama masih ada setan, kejahatan tidak akan pernah habis di muka bumi. Tapi minimal dengan adanya hukum cambuk (itu akan) meminimalisasi kejahatan. Daerah tersebut akan berkurang kejahatannya," tambah Win yang menamatkan gelar magisternya di Universitas Antara Bangsa, Malaysia.
Sebelumnya, beberapa lembaga masyarakat menolak penerapan Qanun Jinayat di Aceh. Di antaranya, disebut 'Qanun Jinayat Aceh tidak hanya bertentangan dengan dengan Undang-Undang Republik Indonesia tapi juga mengabaikan dan melupakan semangat dari Perjanjian Perdamaian Aceh (MoU Helsinki)', lihat tautannya di sini. (adm)
No comments:
Post a Comment