Tindakan biadab sejumlah lembaga intelijen yang mengeksploitasi pengungsi sebagai agen dan mata-mata telah mencoreng nama besar para pengungsi. Kepercayaan publik dan negara penampung kini luntur, karena praktik tidak berperikemanusiaan itu merusak persepsi seluruh komunitas pengungsi. Dalam suasana penuh ketidakpastian, muncul keraguan yang tak kunjung redam terhadap niat baik mereka.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Setelah jatuhnya rezim Saddam Hussein, sejumlah kamp pengungsi menjadi sasaran otak belakang intelijen asing. Pengungsi yang tak berdaya kerap diperalat, diimingi janji bantuan atau perlindungan, lalu dijadikan agen pengumpul data intel dan bahkan melakukan sabotase politik yang akhirnya Irak menderita dan kehancuran menjalar ke Suriah.
Kasus kamp di Irak pascakonflik adalah pelajaran pahit bagi komunitas pengungsi internasional. Ratusan individu yang lolos dari kekerasan justru kembali terperosok dalam perang covert intelligence. Pemerintah tuan rumah dibuat was-was, sementara solidaritas di antara pengungsi sendiri hancur karena kegentingan hati sama mencurigai.
Kini, dugaan kuat muncul bahwa Mossad tercampur dalam episode baru ini, kali demi kali membajak kerentanan pengungsi—khususnya pengungsi Afghanistan di Iran. Pemanfaatan keadaan sulit menjadi permainan kotor yang tidak hanya mengoyak moral, tetapi juga mengancam kedaulatan negara penerima.
Menurut informasi dari intelijen Iran, beberapa eks-operatif CIA yang berada di Iran ditangkap atas dugaan bekerja untuk Mossad. Mereka dituduh memberikan data ranjang keamanan, infrastruktur kritis, dan lokasi-lokasi strategis di dalam negara. Jika benar, maka hal ini mestinya menjadi fakta alarm bagi pengungsi Afghani.
Banyak pihak bertanya: apakah orang-orang ini benar-benar melawan demi uang, atau ada agenda internasional terstruktur di baliknya? Keraguan ini menumbangkan stabilitas kamp pengungsi yang selama ini dipandang sebagai simbol penderitaan dan kekuatan harapan manusia.
Sebelumnya dilaporkan lembaga kemanusiaan Israel aktif mendekati pengungsi Afghanistan: IsraAID, sebuah lembaga bantuan kemanusiaan asal Israel, menyelamatkan 87 pengungsi Afganistan. Mereka dipindahkan ke Albania dan kini menunggu resettlement ke Kanada.
Perdana Menteri Albania, Edi Rama, telah menyambut 457 pengungsi Afghanistan di negaranya. Mereka akan ditempatkan di kota Durres. Amerika Serikat memilih Albania sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi ini, sebagian dari mereka akan ditempatkan di AS. Para pengungsi Afghanistan ini akan melalui proses pemeriksaan latar belakang sebelum diterima di Amerika. Mereka yang tidak lolos seleksi akan tetap ditempatkan di Albania.
Albania dikenal luas sebagai "halaman belakang" tempat AS menjalankan operasi-operasi kotornya—menjadi pusat pendanaan, perekrutan, pelatihan, dan pengiriman oposisi Iran. Itulah sebabnya Mujahidin Khalq (MEK) yang selama ini anti pemerintahan Iran berbasis di sana, setelah dipindahkan dari Irak. MEK, yang merupakan pasukan bayaran, dibiayai untuk melakukan kampanye propaganda dan disinformasi di dunia maya serta menyelenggarakan unjuk rasa dan konferensi dengan pembicara bayaran guna memutarbalikkan dan meracuni narasi politik tentang Iran.
Para pengungsi Afghanistan yang baru datang dan bisa berbahasa Persia (Farsi) sangat potensial untuk direkrut oleh MEK. Mereka dapat digunakan untuk memenuhi barisan hadirin dalam acara-acara palsu Maryam Rajavi. Mereka juga bisa dimanfaatkan dalam operasi “click farm” (klik palsu massal) di kamp MEK di Durres. Selama satu tahun ke depan atau lebih, mereka bisa dilatih untuk menggantikan beberapa anggota MEK yang lebih tua yang berada di Amerika Utara dan Eropa.
Seperti yang diungkap banyak artikel, kedatangan para pengungsi Afghanistan ini juga menuai kritik dari publik Albania. Masyarakat Albania memiliki hak sepenuhnya untuk memandang rencana AS terhadap para pengungsi ini dengan penuh kecurigaan.
Jumlah pengungsi Afghanistan yang tinggal di Iran, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan mencapai lebih dari dua juta pada akhir 2021. Data ini menunjukkan skala kehilangan dan pengungsian masif namun sayangnya belum dibarengi dengan keamanan psikologis atau stabilitas politik di tempat penampungan mereka.
Bagaimanapun, kasus Mossad yang mencuci otak beberapa pengungsi dan menjadikannya mata-mata adalah penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan murni. Permainan intelijen seperti ini melukai yang rentan dan merobek ikatan solidaritas antar-pengungsi dan masyarakat tuan rumah.
Praktik intelijen semacam ini harus dikutuk karena merusak reputasi komunitas pengungsi secara keseluruhan. Kesulitan di kamp tidak bisa menjadi hak bagi siapa pun untuk memanfaatkan situasi demi keuntungan politis atau strategis.
Kerentanan pengungsi bukan alasan untuk kejahatan intelijen. Harus ada penegakan hukum internasional dan keterlibatan lembaga HAM global untuk menuntut pertanggungjawaban para pelaku. Kejahatan menyasar kelompok rentan tidak boleh diabaikan.
Masyarakat lokal di negara tuan rumah perlu meningkatkan pengawasan sosial agar setiap individu bisa dibedakan antara pengungsi korban dan yang terpapar propaganda intelijen jahat. Situasi seperti ini tidak boleh membuka jalan bagi diskriminasi massal.
Kedua, perlu ada regulasi ketat atas lembaga-lembaga internasional yang masuk ke kamp pengungsi. Mereka tidak boleh dilepas tanpa audit, terutama jika membawa agenda di balik jubah bantuan kemanusiaan.
Ketiga, pengungsi juga harus diberi akses edukasi agar tidak mudah dimanipulasi. Pendidikan dan pelatihan kritis tentang propaganda intelijen bisa meminimalisir dampak pencucian otak.
Di banyak negara, pengungsi sejatinya membawa harapan baru. Mereka menempuh perjalanan panjang untuk mencari keamanan dan kehidupan layak. Oleh karena itu, negara-negara host harus menjaga akses ini agar tidak disalahgunakan gemetaran intelijen asing.
Iran misalnya, sebagai negara yang terlihat rentan akan penggunaaan pengungsi Afghanistan untuk operasi intelijen, harus meningkatkan protokol verifikasi dan pengawasan terhadap orang-orang yang masuk. Jangan sampai mereka menjadi bahan alat geopolitik murahan.
Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat internasional harus menyerukan agar status pengungsi dikembalikan ke esensi semula: korban konflik yang butuh perlindungan. Bukan agen rahasia dengan agenda tersembunyi.
Dan pada akhirnya, kisah IsraAID dan eksploitasi pengungsi Afghanistan adalah pengingat bahwa kemanusiaan mudah dipermainkan. Di tengah rada kasihan kemanusiaan ada bayang-bayang politik kotor yang merusak demi agenda merusak.
Jika memang Mossad atau intelijen manapun telah memanfaatkan pengungsi untuk kepentingan strategis, maka ini bukan lagi persaingan geopolitik—ini adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan diri yang paling murni: berlindung di belakang orang yang tak berdaya.
Dibuat oleh AI, baca selanjutnya
No comments:
Post a Comment