Baru-baru ini media melaporkan keraguan mantan wapres RI Jusuf Kalla soal pejabat Taliban di Afghanistan dalam mengelola negaranya termasuk pemilihan pejabat gubernur bank sentral Afghanistan yang hanya berpendidikan setara 'pesantren'.
Dalam pendidikan formal, JK bahkan menyebut Mohammad Idris atau Mulla Abdul Qaher hanya tamatan kelas tiga SD.
Namun kritik JK ini berbanding terbalik dengan sejumlah laporan dari media internasional bahwa para bankir di Afghanistan merasa puas dengan sosok gubernur baru bank sentral Da Afghanistan Bank (DAB) tersebut.
Bagaimana sebenarnya sistem pendidikan di Afghanistan?
Menurut berbagai sumber, di Afghanistan juga terdapat pendidikan sampai level tertinggi paska sarjana. Kini terdapat sekitar 70-an universitas umum di Afghanistan.
Namun selama 20 tahun penjajahan AS dkk pembangunan hanya aktif dan meliputi 20 persen wilayah Afghanistan yang benar-benar aman.
Sisanya merupakan zona militer yang diperebutkan antara pasukan AS dkk dan pemerintah saat itu dengan Taliban. Ada juga beberapa wilayah yang benar-benar dikuasai sepenuhnya oleh Taliban.
Di luar 20 persen wilayah tersebut terdapat pendidikan alternatif yang disebut dengan madrasah. Madrasah ini dapat disebut ekuivalen dengan pesantren di Indonesia.
Namun hampir semua madrasah di Afghanistan khususnya yang dikelola para Mulla menyediakan level pendidikan dasar, menengah sampai tingkat atas yang disebut dengan 'jamiah'.
Memang sistemnya tradisional sehingga tidak semua mendapat persamaan dari pemerintah.
Untuk tingkat 'jamiah' terdapat beberapa level yang ekuivalen dengan 'sekolah paska sarjana' di Indonesia. Mereka menyebutnya pengkhususan atau 'takhassus'.
Di Indonesia Kementerian Agama juga sedang tren mendirikan perguruan tinggi di pesantren dengan level 'Ma'had Aly'.
Ma'had Aly ini diakui keabsahannya sebagai sarjana di Indonesia.
Jadi walaupun para pejabat Taliban tidak mengenyam pendidikan formal karena kondisi 'konflik' yang berkepanjangan maka besar kemungkinan mereka sudah melalui tahap takhassus yang proses kelulusannya mirip dan sama dengan proses penulisan disertasi doktoral di level universitas pada umumnya.
Yang beda adalah, lulusan madrasah pada level takhassus atau doktoral tidak mencantumkan gelar doktor atau PhD di depan namanya tapi Mulla/Malvi atau sebutan lainnya sesuai dengan standar tradisional di sana.
No comments:
Post a Comment