Perlakuan yang kini menimpa Iran lewat strategi containment, pembungkaman, dan upaya regime change sejatinya bukanlah hal baru dalam sejarah politik dunia. Cara-cara semacam ini telah menjadi pola baku sejak era kolonialisme klasik, di mana kekuatan besar dunia melumpuhkan satu per satu kekuatan lokal yang dianggap tidak sejalan dengan ambisi global mereka. Hari ini, praktik serupa dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara besar Eropa dengan wajah baru, namun semangat yang sama.
Dalam sejarah Asia Tenggara, pola kolonialisme yang sama pernah dijalankan Belanda saat menganeksasi Nusantara. Kesultanan-kesultanan yang bersikap mandiri atau enggan tunduk, satu per satu dijatuhkan. Aceh adalah contoh yang paling mencolok. Meski pernah memberikan pengakuan diplomatik kepada Belanda dalam perjuangannya melawan Spanyol di abad ke-16, Kesultanan Aceh justru menjadi wilayah terakhir yang paling sulit ditaklukkan oleh penjajah Belanda.
Kini, posisi Iran sangat mirip dengan posisi Aceh kala itu. Sebagai negara yang tidak tunduk pada tatanan internasional yang dikendalikan Barat, Iran menjadi target operasi berlapis—sanksi ekonomi, isolasi politik, tekanan diplomatik, hingga serangan militer melalui perantara seperti Israel. Semua ini terjadi karena Iran berdiri di luar garis yang digariskan Washington dan sekutunya.
Sejarah Inggris di anak benua India juga menawarkan cermin yang sama. Penjajahan Inggris tidak dilakukan sekaligus, tetapi dimulai dengan upaya sistematis membungkam kerajaan-kerajaan lokal yang dianggap menghalangi misi ekspansi ekonomi dan politik. Kesultanan Mughal yang besar dan berpengaruh akhirnya dilumpuhkan, bukan melalui pertempuran tunggal, tapi lewat sabotase politik dan propaganda berkepanjangan.
Iran hari ini menjadi bagian dari lanjutan skenario yang telah dirancang sejak lama. Negara-negara seperti Irak, Libya, dan Suriah adalah korban terdahulu. Semuanya pernah menjadi negara berdaulat dengan pemerintahan yang kuat, tapi kemudian hancur akibat campur tangan asing yang dibalut slogan demokrasi, HAM, dan stabilitas regional. Kini giliran Iran yang menghadapi tekanan serupa.
Yang berubah hanyalah bentuk dan bahasa. Jika dulu kolonialisme datang dengan serdadu dan kapal perang, sekarang ia hadir dalam bentuk drone, sanksi ekonomi, media global, dan diplomasi tekanan. Namun tujuan akhirnya tetap sama: menjinakkan yang tidak tunduk, menguasai sumber daya, dan mengatur ulang tatanan politik kawasan sesuai kepentingan pihak luar.
Serangan Israel ke Iran adalah manifestasi nyata dari strategi kolonial modern. Dengan dukungan diam-diam dari kekuatan Barat, Israel menjalankan peran sebagai eksekutor di lapangan, sementara negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Prancis memolesnya dengan retorika diplomatik yang terdengar sah. Ironisnya, semua ini dilakukan atas nama keamanan global.
Jika Iran akhirnya tumbang atau dipaksa berubah secara struktural, tidak ada jaminan bahwa kawasan akan menjadi lebih aman. Justru yang terjadi adalah penguatan hegemoni sepihak, meningkatnya ketimpangan regional, dan kemunduran kedaulatan nasional di negara-negara sekitar. Kawasan Timur Tengah akan menjadi ladang eksperimen tanpa kendali.
Kolonialisme saat ini bukan lagi soal pendudukan fisik, melainkan dominasi penuh terhadap keputusan politik dan arah pembangunan suatu bangsa. Negara tidak harus dijajah secara teritorial, cukup dibuat tidak berdaya secara ekonomi dan militer, maka kontrol pun dapat diambil alih dari kejauhan. Inilah kolonialisme gaya baru yang lebih licik tapi tak kalah berbahaya.
Bedanya dengan konsep neokolonialisme yang bersifat implisit, kolonialisme hari ini sudah terang-terangan. Pemaksaan kehendak kepada Iran oleh Barat melalui Israel, perampasan sumber daya negara-negara lemah, serta penggulingan pemerintahan yang sah telah menjadi pola global yang sistematis. Ini bukan sekadar pengaruh, ini adalah penjajahan dalam bentuk penuh.
Kesamaan yang mencolok adalah bagaimana kekuatan lokal yang berani melawan akan dicap sebagai radikal, teroris, atau musuh demokrasi. Sama seperti bagaimana Aceh dulu dipersepsikan sebagai pemberontak hanya karena menolak penjajahan Belanda, Iran hari ini disebut sebagai ancaman dunia, hanya karena menolak tunduk pada kehendak asing. Labelisasi ini adalah senjata pertama kolonialisme.
Tidak hanya negara besar, rakyat juga menjadi korban dari permainan geopolitik ini. Harga kebutuhan melonjak, infrastruktur hancur, dan masa depan menjadi suram. Ketika perang menjadi alat kontrol dan sanksi menjadi peluru ekonomi, maka seluruh sendi kehidupan masyarakat ikut terdampak tanpa mereka tahu siapa sebenarnya musuh sejati.
Pemerintah-pemerintah lokal yang berani berdiri di luar skema Barat akan terus mengalami tekanan yang sama. Seperti nasib Irak yang dihancurkan demi minyak, Libya yang dijatuhkan demi perubahan peta kekuasaan Afrika, atau Suriah yang dikoyak oleh konflik tak berkesudahan, semua skenarionya bermuara pada tujuan akhir: penghapusan kedaulatan demi kontrol.
Iran hari ini mungkin masih berdiri, tapi tekanan akan terus datang. Jika negara ini jatuh, bukan karena kesalahan internal semata, tetapi karena strategi penjajahan modern yang dijalankan lewat kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang tak seimbang. Dunia tidak sedang membebaskan Iran, dunia sedang mencoba menjajahnya sekali lagi.
Satu per satu benteng perlawanan di Timur Tengah telah digulingkan. Hanya segelintir yang masih bertahan, termasuk Iran. Namun sejarah menunjukkan bahwa jika satu kekuatan global berhasil menjatuhkan perlawanan terakhir, maka dunia tidak menjadi damai—melainkan lebih mudah dikendalikan oleh satu poros kekuasaan yang tak tersentuh.
Jika kolonialisme dahulu menciptakan luka yang diwariskan lintas generasi, maka kolonialisme baru hari ini sedang menanam luka yang sama dalam balutan teknologi dan diplomasi. Namun luka tetaplah luka, apapun bentuk alat yang digunakan. Dan jika dunia tidak segera menyadari polanya, maka banyak negara lain akan menyusul sebagai korban berikutnya.
Di tengah kabut propaganda dan permainan kekuasaan global, suara rakyat yang mencintai kedaulatan dan keadilan semakin tenggelam. Dunia sedang menyaksikan bagaimana sejarah kolonialisme diulang kembali dengan wajah baru—lebih rapi, lebih senyap, tapi tak kalah merusak. Iran hanya salah satu babak dari skenario panjang penjajahan yang belum usai.
No comments:
Post a Comment