• Tuesday, March 11, 2014

    CAR, Ulangan Kepengecutan Belanda di Srebrenica

    Tobapos -- Pembantaian muslim oleh milisi Kristen di Republik Afrika Tengah tak lepas kesalahan pasukan Prancis. Mengingatkan kepengecutan pasukan Belanda di Srebrenica, 1995.

    Saat itu, pertengahan Juli 1995, di sebuah kota kecil yang kemudian menjadi terkenal di dunia, Srebrenica, sekitar 8 ribu muslim disembelih. Tak hanya laki-laki dewasa, tetapi juga orang tua renta, anak-anak dan wanita. Bedanya, untuk yang disebut terakhir itu ada ritual menjijikkan yang dilakukan sebelumnya: perkosaan.

    Pembantaian yang dilakukan milisi Serbia itu tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pasukan pemelihara perdamaian PBB asal Belanda. Dan bukan hanya hingga kini, sampai kapan pun ‘keberanian’ pasukan Belanda meninggalkan kaum muslim yang mereka lucuti tanpa senjata untuk dilahap milisi bersenjata Serbia itu tak akan pernah termaafkan. Sejarah mencatatnya dengan bau bacin kepengecutan. Negeri Belanda akan dipaksa mengenangnya sebagai momen paling memalukan.

    Bagaimana mungkin memaafkan Letkol Karremans dan pasukannya, yang justru meninggalkan Srebrenica saat kaum muslim mulai jadi sasaran tembakan? Bagaimana bisa memaafkan seorang perwira yang mempertukarkan 5.000 muslim ke tangan Ratko Mladic, ‘jagal dari Srebrenica’, demi 15 prajurit Belanda yang ditahan di Nova Kasaba? Lalu terjadilah pembantaian itu.

    Apa yang dilakukan pasukan Prancis di Republik Afrika Tengah (CAR) tidak jauh berbeda. Pada awal Desember 2013, dengan dalihmengakhiri kekerasan antarkelompok bersenjata di negara itu, pasukan Prancis melucuti senjata kelompok Seleka.

    Itu adalah nama kelompok bersenjata muslim multinegara, terutama dari negara tetangga CAR, Chad. Seleka datang ke CAR untuk membantu muslim CAR yang minoritas dari ancaman kelompok milisi Kristen bersenjata, Anti Balaka. Entah mengapa, meski nama itu artinya ‘anti parang’, kelompok Anti Balaka justru punya kegemaran menyembelih kaum muslim CAR--tetangga mereka, dengan parang.


    Seleka sempat berjaya. Tidak hanya memberikan perlindungan kepada kaum muslim CAR, mereka bahkan mampu memelihara ketenangan sekian lama. Tetapi pertikaian agama sekian lama memang wajar memabukkan. Seleka kebablasan. Mereka menggelar kudeta pada Maret 2013 dan menempatkan Michel Djotodia sebagai presiden muslim pertama di negara berpenduduk mayoritas Kristen itu.

    Enam bulan kemudian, atas desakan banyak negara, Presiden Michel Djotodia membubarkan kelompok Seleka yang telah mengantarnya menduduki jabatan presiden. “Mulai hari ini Seleka tidak ada lagi, “ ujar Djotodia lantang, saat mengumumkan pembubaran itu, 13 September 2013.

    Pembubaran itu memantik kecemasan di kalangan muslim. Apalagi Januari lalu Djotodia pun mundur, digantikan presiden baru dari kalangan Kristen, Catherine Samba-Panza. Di hari pelantikannya, Panza berjanji melindungi kaum muslim, sama dengan perlindungannya untuk warga Kristen yang mayoritas.

    Namun janji itu tak punya dampak. Justru sejak itu terjadilah eksodus besar-besaran kaum muslim CAR ke berbagai negara tetangga, terutama Sudan dan Kamerun. Apalagi ketika kemudian kelompok Anti Balaka yang sempat terpinggirkan kedatangan Seleka, kembali mengancam. Mereka tak hanya membakari rumah-rumah kaum muslim dan melakukan pengusiran.

    Seiring kian menguatnya perasaan antimuslim, pembantaian pun tak terelakkan. Milisi Kristen, dengan menghunus pedang, pisau dan belati berkeliaran di pinggiran kota Bangui, mendirikan pos-pos pemeriksaan ilegal untuk mencari dan menyisir warga muslim. Ironisnya, pimpinan tertinggi Anti Balaka, Edouard Patrick Ngaissona, adalah mantan menteri urusan pemuda.

    “Ada perubahan demografi besar-besaran,” kata Valerie Amos, kepala Misi Kemanusiaan PBB di CAR. “Sebelumnya ada sekitar 145 ribu muslim di Bangui. Desember lalu hanya tinggal 10 ribu. Saat ini tak lebih dari 900,” kata dia.

    Kondisi Bangui memang kacau balau. Hanya tersisa tiga masjid yang masih beroperasi dan padat pengungsi. Itu pun dengan pengawalan tentara karena milisi mengepungnya. Kantor Berita AP menyederhanakan kondisi Bangui dengan tiga fakta: masjid dihancurkan, muslim dibunuh, dan Alquran dibakar. Jangankan muslim, Sabtu (8/3/2014) lalu seorang pekerja kemanusiaan Palang Merah Internasional (ICRC) tewas dibunuh milisi. Padahal Palang Merah tersebut berada dalam misi kemanusiaan Katolik di Ndele.

    Kebrutalan Anti Balaka itulah, barangkali, yang membuat media sekaliber Christian Science Monitor menampik mereka sebagai representasi Kristen. “Mereka tidakmewakili kelompok Kristen. Ada banyak kelompok berbaur di sana; animis, preman, penjahat dan para oportunis,” tulis koran itu, Jumat (7/3/2014) lalu.

    Yang jelas, 2.000 personel pasukan Prancis dan 6.000 personel pasukan Uni Afrika, bukanlah jumlah yang cukup untuk mengatasi keadaan. Sekjen PBB Ban Ki-Moon bukan tak sadar. Desember lalu, Dewan Keamanan PBB setuju untuk mengirim 12 ribu personel pasukan pemelihara perdamaian ke sana. Namun jangankan itu, dari usulan 551 juta dolar AS dana kemanusiaan yang diminta, yang cair tak lebih dari seperlimanya.

    Muslim Afrika Tengah tampaknya memang dikorbankan. Ban Ki Moon sendiri sadar, perlu setidaknya enam bulan untuk mempersiapkan pasukan dan mengirimnya ke sana. Senyampang itu, tak ada jaminan secuil pun muslim Afrika Tengah aman dari pembantaian. Saat ini pun, para pengamat melihat, yang dilakukan pasukan penjaga keamanan bukanlah ‘protecting’ (melindungi muslim di rumah mereka). Yang ada lebih cenderung semacam ‘trucking’, alias mengeluarkan kaum muslim dari kota dengan truk-truk, yang terbukti seringkali diserang milisi.

    Sama seperti 1995 lalu. Mungkin kepada Ban Ki-Moon, kita pun bisa membacakan lagi surat Taufiq Ismail kepada Boutros-Boutros Ghali, yang saat itu memimpin PBB.
    “…Kini pada PBB aku tidak percaya lagi/… Telah dibantai di sana berpuluh ribu manusia tanpa senjata/Beribu perempuan digilas kehormatan utamanya/Beratus kanak-kanak dipotongi tangan dan kakinya/Beratus ribu diusir, mengungsi, terancam dingin dan mati/Tak kudengar kalian dengan penuh semangat melindungi mereka…

    Bersama surat ini kukirimkan ludahku padamu/Di pinggir amplop berwarna putihbersih/Yang kutulis dengan hati yang sangat pedih.”—‘ Surat Amplop Putih untuk PBB’ [dsy]

    INILAHCOM, Jakarta – Pembantaian muslim oleh milisi Kristen di Republik Afrika Tengah tak lepas kesalahan pasukan Prancis. Mengingatkan kepengecutan pasukan Belanda di Srebrenica, 1995.

    Saat itu, pertengahan Juli 1995, di sebuah kota kecil yang kemudian menjadi terkenal di dunia, Srebrenica, sekitar 8 ribu muslim disembelih. Tak hanya laki-laki dewasa, tetapi juga orang tua renta, anak-anak dan wanita. Bedanya, untuk yang disebut terakhir itu ada ritual menjijikkan yang dilakukan sebelumnya: perkosaan.

    Pembantaian yang dilakukan milisi Serbia itu tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pasukan pemelihara perdamaian PBB asal Belanda. Dan bukan hanya hingga kini, sampai kapan pun ‘keberanian’ pasukan Belanda meninggalkan kaum muslim yang mereka lucuti tanpa senjata untuk dilahap milisi bersenjata Serbia itu tak akan pernah termaafkan. Sejarah mencatatnya dengan bau bacin kepengecutan. Negeri Belanda akan dipaksa mengenangnya sebagai momen paling memalukan.

    Bagaimana mungkin memaafkan Letkol Karremans dan pasukannya, yang justru meninggalkan Srebrenica saat kaum muslim mulai jadi sasaran tembakan? Bagaimana bisa memaafkan seorang perwira yang mempertukarkan 5.000 muslim ke tangan Ratko Mladic, ‘jagal dari Srebrenica’, demi 15 prajurit Belanda yang ditahan di Nova Kasaba? Lalu terjadilah pembantaian itu.

    Apa yang dilakukan pasukan Prancis di Republik Afrika Tengah (CAR) tidak jauh berbeda. Pada awal Desember 2013, dengan dalihmengakhiri kekerasan antarkelompok bersenjata di negara itu, pasukan Prancis melucuti senjata kelompok Seleka.

    Itu adalah nama kelompok bersenjata muslim multinegara, terutama dari negara tetangga CAR, Chad. Seleka datang ke CAR untuk membantu muslim CAR yang minoritas dari ancaman kelompok milisi Kristen bersenjata, Anti Balaka. Entah mengapa, meski nama itu artinya ‘anti parang’, kelompok Anti Balaka justru punya kegemaran menyembelih kaum muslim CAR--tetangga mereka, dengan parang.


    Seleka sempat berjaya. Tidak hanya memberikan perlindungan kepada kaum muslim CAR, mereka bahkan mampu memelihara ketenangan sekian lama. Tetapi pertikaian agama sekian lama memang wajar memabukkan. Seleka kebablasan. Mereka menggelar kudeta pada Maret 2013 dan menempatkan Michel Djotodia sebagai presiden muslim pertama di negara berpenduduk mayoritas Kristen itu.

    Enam bulan kemudian, atas desakan banyak negara, Presiden Michel Djotodia membubarkan kelompok Seleka yang telah mengantarnya menduduki jabatan presiden. “Mulai hari ini Seleka tidak ada lagi, “ ujar Djotodia lantang, saat mengumumkan pembubaran itu, 13 September 2013.

    Pembubaran itu memantik kecemasan di kalangan muslim. Apalagi Januari lalu Djotodia pun mundur, digantikan presiden baru dari kalangan Kristen, Catherine Samba-Panza. Di hari pelantikannya, Panza berjanji melindungi kaum muslim, sama dengan perlindungannya untuk warga Kristen yang mayoritas.

    Namun janji itu tak punya dampak. Justru sejak itu terjadilah eksodus besar-besaran kaum muslim CAR ke berbagai negara tetangga, terutama Sudan dan Kamerun. Apalagi ketika kemudian kelompok Anti Balaka yang sempat terpinggirkan kedatangan Seleka, kembali mengancam. Mereka tak hanya membakari rumah-rumah kaum muslim dan melakukan pengusiran.

    Seiring kian menguatnya perasaan antimuslim, pembantaian pun tak terelakkan. Milisi Kristen, dengan menghunus pedang, pisau dan belati berkeliaran di pinggiran kota Bangui, mendirikan pos-pos pemeriksaan ilegal untuk mencari dan menyisir warga muslim. Ironisnya, pimpinan tertinggi Anti Balaka, Edouard Patrick Ngaissona, adalah mantan menteri urusan pemuda.

    “Ada perubahan demografi besar-besaran,” kata Valerie Amos, kepala Misi Kemanusiaan PBB di CAR. “Sebelumnya ada sekitar 145 ribu muslim di Bangui. Desember lalu hanya tinggal 10 ribu. Saat ini tak lebih dari 900,” kata dia.

    Kondisi Bangui memang kacau balau. Hanya tersisa tiga masjid yang masih beroperasi dan padat pengungsi. Itu pun dengan pengawalan tentara karena milisi mengepungnya. Kantor Berita AP menyederhanakan kondisi Bangui dengan tiga fakta: masjid dihancurkan, muslim dibunuh, dan Alquran dibakar. Jangankan muslim, Sabtu (8/3/2014) lalu seorang pekerja kemanusiaan Palang Merah Internasional (ICRC) tewas dibunuh milisi. Padahal Palang Merah tersebut berada dalam misi kemanusiaan Katolik di Ndele.

    Kebrutalan Anti Balaka itulah, barangkali, yang membuat media sekaliber Christian Science Monitor menampik mereka sebagai representasi Kristen. “Mereka tidakmewakili kelompok Kristen. Ada banyak kelompok berbaur di sana; animis, preman, penjahat dan para oportunis,” tulis koran itu, Jumat (7/3/2014) lalu.

    Yang jelas, 2.000 personel pasukan Prancis dan 6.000 personel pasukan Uni Afrika, bukanlah jumlah yang cukup untuk mengatasi keadaan. Sekjen PBB Ban Ki-Moon bukan tak sadar. Desember lalu, Dewan Keamanan PBB setuju untuk mengirim 12 ribu personel pasukan pemelihara perdamaian ke sana. Namun jangankan itu, dari usulan 551 juta dolar AS dana kemanusiaan yang diminta, yang cair tak lebih dari seperlimanya.

    Muslim Afrika Tengah tampaknya memang dikorbankan. Ban Ki Moon sendiri sadar, perlu setidaknya enam bulan untuk mempersiapkan pasukan dan mengirimnya ke sana. Senyampang itu, tak ada jaminan secuil pun muslim Afrika Tengah aman dari pembantaian. Saat ini pun, para pengamat melihat, yang dilakukan pasukan penjaga keamanan bukanlah ‘protecting’ (melindungi muslim di rumah mereka). Yang ada lebih cenderung semacam ‘trucking’, alias mengeluarkan kaum muslim dari kota dengan truk-truk, yang terbukti seringkali diserang milisi.

    Sama seperti 1995 lalu. Mungkin kepada Ban Ki-Moon, kita pun bisa membacakan lagi surat Taufiq Ismail kepada Boutros-Boutros Ghali, yang saat itu memimpin PBB.

    “…Kini pada PBB aku tidak percaya lagi/… Telah dibantai di sana berpuluh ribu manusia tanpa senjata/Beribu perempuan digilas kehormatan utamanya/Beratus kanak-kanak dipotongi tangan dan kakinya/Beratus ribu diusir, mengungsi, terancam dingin dan mati/Tak kudengar kalian dengan penuh semangat melindungi mereka…

    Bersama surat ini kukirimkan ludahku padamu/Di pinggir amplop berwarna putihbersih/Yang kutulis dengan hati yang sangat pedih.”—‘ Surat Amplop Putih untuk PBB’. Sumber Klik di Sini (inilah.com/adm)
    loading...


    Tentang Kami

    Www.TobaPos.Com berusaha menyajikan informasi yang akurat dan cepat.

    Pembaca dapat mengirim rilis dan informasi ke redaksi.dekho@gmail.com

    Indeks Berita